Ivana W.
I Pendahuluan
Mungkin kita sudah akrab dengan kata pelecehan, seperti pelecehan seksual, dan bosan dengan lagi-lagi pelecehan. Tahu tidak kalau bentakan, ancaman, merendahkan orang lain, juga merupakan bentuk pelecehan? Yaitu pelecehan emosional. Banyak yang melupakan jenis pelecahan satu ini, dan bahkan dibiarkan begitu saja. Padahal salah satu pelecehan ini dampaknya dapat membuat seseorang bunuh diri. Sama buruknya dengan pelecehan yang lain , memberikan dampak yang negatif juga. Orang-orang menganggap pelecehan ini bukan pelecehan. karena, dampak yang ditimbulkan tidak selalu kelihatan, yang terkadang dipendam sendiri oleh orang korbannya.
Pelecehan ini ialah pelecehan emosional. Pelecehan1 artinya menghinakan atau mencemoohkan, dan Emosional1 merupakan perasaan batin (dari hati). Jadi bila diartikan pelecehan emosional
adalah menghina seseorang dengan menyerang perasaan pribadi. Kita bisa saja melakukan pelecehan emosional yang tanpa kita sadari setiap hari, yang dilakukan oleh sesama teman, oran tua, guru, senior, dan lainnya. Contohnya:
“Gimana sih, gara-gara kamu jadi begini kan!” atau
“Kamu lagi, mana mungkin bisa sih.” Atau juga dengan kata-kata seperti ini,
“Bisanya apa sih!!! Begini gak bisa, itu gak bisa! Bisanya apa coba! Gak guna banget jadi orang!”.
Pelecehan emosional membuat luka batin ataupun trauma, bahkan itu bisa terbentuk dari bentakan-bentakan. Karena itulah diperlukan seseorang untuk mengerti dan memahami apa itu pelecehan emosional. Supaya tidak menimbulkan kesedihan yang terpendam dalam hati bagi korbannya.
II Isi
Sebelum kita masuk lebih lanjut tentang pelecehan emosional. Marilah kita membaca studi kasus berikut ini..
Pembentak
Ibu Jeffry kebingungan. Secara tiba-tiba putranya yang berada di kelas dua SD tidak mau pergi ke sekolah lagi. Ia tidak hanya berjalan ke pintu dan mengumumkan bahwa ia bosan sekolah. Malahan ia mulai membuat alasan-alasan mengapa ia tidak dapat pergi ke sekolah. Sebagai murid yang cerdas di kelas, Jeffry selalu suka pergi ke sekolah, tidak hanya karena ia dapat belajar sesuatu, tetapi juga untuk bertemu sahabat-sahabatnya dan bermain
Akibatnya ibunya menyerah. Memutuskan untuk mengetahui pokok permasalahan yang sebenarnya, ia mulai menanyakan tentang sekolah kepadanya.
“Mengapa kamu tidak mau pergi ke sekolah?” ia bertanya kepadanya, Jeffry mengalihkan pandangannya berusaha untuk menghindari ibunya. “Apakah ada anak-anak lain yang menyusahkan kamu?”
“Tidak mereka baik … Aku tidak mau pergi …” Ia benar-benar tampak tidak tenang berbicara dengan ibunya.
“Tetapi kamu harus sekolah, Jeffry. Lagipula, kamu murid yang pintar! Ibu Rini mengatakan kamu adalah salah satu murid terbaiknya.”Mendengar nama gurunya Jeffry jadi tegang.
“Ngak mau!” ia memohon.
“Ada apa yang salah dengan ibu Rini?” Ibunya bertanya, merasakan kegelisahan-kegelisahan putranya ketika ia menyebutkan nama guru itu.
“Ngak.” ia menjawab segera. “Ibu Rini adalah ibu guruku.”
“Saya tahu ia gurumu, tetapi apakah kamu menyukainya, Jeffry?”
“Aah… ia seorang yang baik, tapi ibu Rini…” Jeffry mengaku.
“Apa yang tidak kamu suka dari ibu Rini?” Ibunya merasa seperti ia sedang mencabut gigi-berusaha bersabar dan memberinya waktu yang ia butuhkan untuk menceritakan kepadanya apa yang salah, sekalipun tanda-tanda peringatan telah berlalu dari kepalanya,
“Ia teriak-teriak melulu.” Itulah, ia telah mengatakannya
“Saya tidak mengerti. Apa yang kamu maksud dengan ‘ia berteriak terus menerus’?” Ibunya telah mengikuti kelas Jeffry beberapa kali dan memperhatikan gurunya memiliki kecenderungan untuk meninggikan nada suaranya, tetapi ia menduga hal ini mungkin disebabkan karena ia gugup menjumpai orang tua murid di dalam ruangan, “Saya tahu waktu saya ada dalam kelasmu ia berbicara sedikit keras, tetapi banyak percakapan yang terjadi di sana.”
“Mami,” Jeffry berkata sejujurnya, “Ini 10 kali jauh lebih parah kalau mami ngak ada disana. Ibu Rini teriak-teriak melulu ke semua orang, meskipun ngak melakukan kesalahan. Terus, jika ibu Rini mikir, mami telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan, ibu Rini berteriak melulu.”
“Kasihan,” ia menanggapi sambil menarik putranya ke dalam pelukannya. “Besok saya akan pergi ke sekolah dan menemui Kepala Sekolah. Apa yang ia lakukan itu tidak benar.”
Pasti kita pernah mengalami kejadian seperti ilustrasi di atas. Contoh kasus seperti diatas merupakan salah satu contoh pelecehan emosional. Ibu Rini sangat suka membentak dan berteriak kepada Jeffry dan teman-temannya dan itu menyebabkan Jeffry tidak ingin pergi ke sekolah, dan memberikan banyak alasan untuk menghindari bertemu dengan gurunya itu.
Dalam cerita diatas, pelecehan terhadap Jeffry oleh ibu Rini terjadi di sekolah, coba perhatikan pengalaman yang tidak menyenangkan banyak terjadi dimana-mana tetapi kita tidak tanggap. Contohnya, bila anda pergi ke toko buku, dan seorang petugas kasir di managernya karena ia terlalu lambat melayani pembeli, si petugas kasir diam saja karena ia tidak dapat berbuat apa-apa. Pasti dalam diri anda mungkin ada rasa iba.
Tanpa disadari, si pembentak menumpahkan kemarahan yang menyebabkan seseorang tidak mendapati rasa aman, seperti Jeffry dalam cerita tersebut. Gejolak emosi berupa kemarahan yang tidak dapat dikendalikan. Dan kemudian gejolak emosi tersebut terus ditunjukan melalui ancaman. Yang menciptakan hasrat untuk mengulanginya terus menerus. Pelaku pelecehan emosional yang seperti kasus dialami Jeffry, dilakukan oleh orang yang lebih berkuasa daripada si korbannya.
Pelecehan emosional mempunyai berbagai macam tipe, dan cara mengungkapkannya. Yaitu:
-
Suka memaksakan pendapat
-
Penolakan seperti meledek, memaki, sumpah serapah, membentak
-
Menggunakan kepatuhan orang lain bukan untuk kebaikan
-
Membuat kecil hati
-
Meledek orang lain
-
Menyalahkan atau memberi rasa bersalah yang besar
-
Meneror atau mengancam
-
Suka membeberkan rahasia orang lain
-
Bemuka dua
-
Tidak menepati janji
-
Mengisolasi
-
Orang yang otoriter
-
Tidak diberi kesempatan seseorang untuk berbicara
-
Pelecehan emosional melalui tindakan ketidak pedulian, contohnya:
-
Orang yang masa bodo dengan orang lain
-
Orang tua yang meninggalkan anaknya
-
Main hakim sendiri
Sebenarnya pelecehan emosional banyak sekali rupanya, pelecehan emosional itu berupa hal yang tidak mengenakan di hati.
Dampak pelecehan emosional banyak sekali, yang paling gamblang dari pelecehan emosional itu, menjadikan korbannya memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan juga harga diri yang rendah, menjadikan si korban merasa dirinya tak berguna, rasa bersalah, ketakutan, amarah yang amat sangat. Pelecehan emosional sangat merusak rohani seseorang. Pengalihan karena pelecehan emosional bisa saja narkoba, bunuh diri, melakukan tindak kriminal maupun kekerasan. Dan juga, si korban pelecehan emosional memberikan efek buruk terhadap kehidupan sosialnya.
III Kesimpulan
Bagaimana caranya untuk menghadapi pelecehan emosional? Terutama bagi korbannya. Yang paling penting adalah, menjalani hidup baru, dengan melupakan masa lalu, untuk menghadapi masa depan. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni sesama tak terhingga,dan itu merupakan kuncinya. Dan juga, kira harus membebaskan diri dari perasaan bersalah melalui amarah yang tidak berkelanjutan. Lalu, ceritakan masalah anda dengan orang lain, melalui curhat, atau ceritakan kepada guru BK, orang tua, guru ataupun teman. Jangan sampai disimpan sendirian.
Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sangat penting sekali dengan proses penyembuhan dari pelecehan emosional. Dan kembalikan rasa percaya diri, dengan menemukan talenta dan bakat. Kesedihan karena pelecehan emosional, dapat dilampiaskan dengan hal yang baik dengan, memperdalam bakat atau talenta yang kita miliki untuk meningkatkan harga diri. Jangan sampai pelecehan emosional dapat menghalangi seseorang.
Refrensi:
Kamus Bahasa Indonesia edisi Revisi, oleh S. Wojowasito
Jantz, Gregory L. Penyembuhan Luka-Luka akibat Pelecehan Emosional, Jakarta: METANOIA 1995
Matius 18:21-35 (Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni sesama tak terhingga)